Disebutkan tahun depan, industri perbankan akan menghadapi tantangan yang cukup berat. Tantangan perbankan justru akan terjadi pada kuartal I-2023, sebab Indonesia mulai memasuki tahun politik. Dimana investasi dapat tertanggu di tengah tahun politik, sebab ada banyak perusahaan yang mungkin akan “menunggu dan melihat” untuk mencairkan pinjamannya.
Baca juga: Daftar Bank Digital Terbaik di Indonesia
Perbankan masih bisa mengatasi beberapa tantangan yang datang saat ini, baik dari dalam maupun luar negeri. Mulau dari tantangan perekonomian yang dilanda ketidakpastian, tren suku bunga tinggi, dan inflasi yang mulai tinggi. Hal tersebut terlihat dari kondisi likuiditas perbankan yang masih terjaga.
Tantangan Perbankan Tahun Depan

Berikut ini adalah beberapa tantangan perbankan yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2023:
Tren Suku Bunga Tinggi
Salah satu tantangan perbankan tahun depan adalah tren suku bunga tinggi. Keputusan Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuannya pada Agustus dan September 2022, diperkirakan akan terasa tahun 2023. Terlebih, ada perkiraaan bahwa BI masih akan menaikkan kembali suku bunga acuan pada akhir 2022. Kenaikan suku bunga ini memiliki risiko meningkatkan biaya penghimpunan dana atau cost of fund perbankan.
Oleh karena itu, perbankan dikabarkan akan menaikkan suku bunga simpanan dan juga kredit. Saat ini memang DPK, CASA, atau dana murahnya cukup tebal, namun tak menutup kemungkinan bank dalam waktu dekat akan menyesuaikan suku bunga simpanan dan kredit. Dengan naiknya suku bunga kredit perbankan, maka nasabah akan menahan diri guna mengambil pinjaman atau pembiayaan dari perbankan.
Sehingga, hal tersebut bisa memperlambat pertumbuhan kredit perbankan. Jika suku bunga meningkat dari sisi simpanan, akan terjadi kenaikan cost of fund. Sementara itu, dari sisi kredit bisa menurunkan laju pertumbuhan kredit, padahal sekarang ini kredit masihlah dalam tahap pemulihan.
Risiko Beban NPL
Tantangan perbankan tahun depan selanjutnya adalah risiko beban NPL karena restrukturisasi kredit Covid-2019. Pada Maret 2023, kebijakan restrukturisasi kredit bagi yang terdampak Covid-2019 akan berakhir. Hal tersebut dapat meningkatkan NPL perbankan sebab debitur dari segmen korporasi atau UMKM, masih banyak yang menjadi beban dari restrukturisasi.
Jika dilihat, UMKM memang memiliki risiko restrukturisasi pinjaman yang belum selesai, sebagian dapat berisiko menyebabkan NPL yang baru. Tetapi, hal tersebut masih dapat diatasi perbankan dengan mempertebal pencadangan LAR atau Loan at Risk. Supaya bisa digunakan untuk menghadapi risiko NPL< bila kebijakan tersebut tak diperpanjang.
Segmen Penyaluran Kredit Berubah

Pada 2023, segmen pembiayaan kredit perbankan akan berubah dari sektor komoditas ke sektor lain, yang mana lebih menguntungkan. Hal tersebut karena saat ini sudah mulai terlihat penurunan harga komoditas global, sebab ancaman resesi di banyak negara. Selama 2022 sendiri, sektor pertambahan dan penggalian banyak berkontribusi pada penyaluran kredit. Dikarenakan harga komoditas masih meningkat sampai pertengahan 2022.
Tetapi, dengan terjadinya resesi ekonomi global menyebabkan harga minyak mentah, sawit, dan crude palm oil mengalami penurunan. Bahkan, beberapa komoditas tambang unggulan dengan pembiayaan kredit cukup besar, mulai tertekan. Sektor pertambangan dan penggalian yang menjadi primadona pada 2022, juga berpotensi tidak lagi menarik tahun depan.
Baca juga: Berikut Daftar 5 Bank Asing di Indonesia Terpopuler
Oleh karenanya, segmen penyaluran kredit yang berubah menjadi tantangan perbankan. Pelemahan dan pertumbuhan kredit serta kualitas dari kredit yang baru haruslah diwaspadai. Sehingga, bank tidak dapat lagi mengandalkan sektor komoditas dan mulai beralih ke sektor, yang memang memiliki prospek cukup imun terhadap inflasi. Meski ada berbagai tantangan perbankan di tahun depan, namun industri ini masih tetap tangguh. Dengan catatan dapat mengantisipasi tantangan tersebut dengan strategi yang juga tepat.